UMMIBy: Adzka Aulia
http://www.bythis.multiply.com/
"Brakk!!” bunyi barang berjatuhan di ruang tenagh, cukup menyentak.
“Fauuuz...!!” tergopoh-gopoh aku berlari menuju asal suara. Masya Allah! Kudapati anakku, Fauz mematung diantara tumpukan buku-buku yang berserakan di lantai. Mataku melotot melihat sobekan-sobekan kertas buku yang kini sudah tidak berbentuk lagi. Kurasakan wajahku tiba-tiba panas dan memerah, gemasku menjadi-jadi melihat buku itu adalah buku kesayangan Mas Ahsin, salah satu hadiah pernikahan kami dahulu.
Seperti biasa, ekspresi Fauz tidak berubah. Menatapku dengan mata bulatnya yang bening, dan mulut yang sedikit terbuka. Sama sekali tidak ada perasaan takut atau bersalah! Sungguh, aku jadi kehilangan kata-kata. Bingung, tidak tahu bagaimana cara memuntahkan amarahku ini. Kuhela nafas panjang, Astaghfirullah! Sabar, Sin .... sabar! Bisikku dalam hati.
Fauz memang berbeda. Perekembangannya tidak sama dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Pertumbuhan fisik dan otaknya jauh lebih lambat. Kalau anak-anak lain sudah bisa berlari pada usia satu hingga dua tahun, dia baru tertatih-tatih ketika usianya hampir empat tahun.
Sedih hatiku, mengetahui hingga detik ini Fauz, bahkan sama sekali, belum bisa berbicara, kecuali mengeluarkan bunyi-buny aneh yang tidak jelas dari mulutnya. Itu pun hanya kadang-kadang.
*****
“Bu Ahsin ... Bu! Assalamu’alaikum!”
Suara salam dan ketokan keras di pintu depan menyentakkanku. Perlahan aku bangkit, menuju ruang depan. Dari balik jendela aku bisa melihat keramainan di halaman. Perasaan tidak enak begitu saja mencuat. Kagetku bertambah menyaksikan Fauz yang berada di gendongan Pak Ikhwan.
“Fauz ...., kenapa Pak?” tanyaku panik.
“Ibu tenang dulu. Tadi Fauz terpelanting waktu diserempet mobil di jalan depan. Mana supirnya kabur lagi. Untung hanya lecet sedikit. Kelihatannya sih nggak apa-apa, Bu. Cuma lemes aja, mungkin dia kaget!”
*****
“Ya Allah, Fauz!”
Tiba-tiba jantungku terasa berhenti. Kulihat di layar monitor, detak jantung Fauz sekarang hanya tinggal garis lurus datar, sama sekali tidak terlihat adanya getaran.
“Mas Ahsin!” pekikku tertahan
Teriakanku membuat ruangan dipenuhi dokter dan perawat, yang mencoba memberikan bantuan pernafasan. Kurasakan genggaman Mas Ahsin pada tanganku semakin keras. Isakku tidak bisa kutahan lebih lama.
Maafkan Ummi, nak. Maafkan Ummi yang selama ini kurang memperhatikan Fauz. Maafkan Ummi yang jarang menghabiskan waktu untuk bercanda dengan Fauz! Maafkan Ummi yang terlalu sering marah-marah. Sungguh, Ummi sayang sekali dengan Fauz! Ah .... maafkan Ummi, yang terlambat menunjukkan rasa sayang Ummi padamu ...
Suara-suara hatiku terus berbicara.
Ya Allah, ampuni aku! Ampuni hamba-Mu yang telah menyia-nyiakan amanah-Mu. Ampuni aku yang kurang dapat bersyukur atas semua pemberian-Mu. Astaghfirullah, sesalku berulang-ulang.
Kusaksikan mata bening Fauz memandangku sayu. Bibirnya tampak bergerak-gerak, sulit sekali kelihatannya.
“U .... Um ... Um ... mm ...iii! Um ... mmi!!
Tangisku pecah, tapi hatiku bersorak!
Ya Allah, Fauz kecilku bicara! Dia memanggilku Ummi. Kuciumi kening dan kedua pipi Fauz. Ingin sekali aku meyakinkannya, betapa aku sangat mencintainya. Aku larut dalam kebahagiaan, sampai kemudian kurasakan tangan Mas Ahsin menarikku, menjauhi Fauz.
Innalillahi ...
“Maafkan Ummi, Fauz .............., maafkan!”
Untuk melihat cerita selengkapnya [klik di sini]



Tidak ada komentar:
Posting Komentar