SATU BUTIR BERHARGAby:Adzka Aulia
Usai makan siang, Ummi lagi-lagi kesal melihat seonggok nasi masih tersisa di piring Fauz.
“Fauz, kok makannya tidak dihabiskan?”
“Kenyang ah, Mi,”
“Lho, kamu ini bagaimana sih? Kalau nggak kuat, ya jangan ambil nasi banyak-banyak. Sayang dan mubadzir.”
“Tapi kan Fauz kenyang ............nggak kuat lagi nih ....” Fauz memberi alasan. “Dikasih ke kucing aja deh Mi. Atau ke ayam tetangga di depan rumah.” Fauz masih membela diri.
Ummi membelalakkan mata sambil menggeleng gemas.
“Bukan itu persoalannya, nak. Kalau Fauz mau memberi makan kucing atau ayam Bu Darmo, ya beri saja. Itu baik sekali. Tetapi, bukan dengan cara menyisakan makanan setiap kali makan. Ummi kan sudah mengingatkan, itu mubadzir. Karena itu ingat, ambil makanan secukupnya, lalu habiskan hingga tak bersisa!
”Iya deh ... iya deh ....” jawab Fauz cepat. Dia rupanya ingin segera main dengan teman-teman, sehingga buru-buru menjawab iya demi menyenangkan hati Umminya.
Fauz akhir-akhir ini memang sering terburu-buru kalau makan, sebab ia ingin cepat-cepat bermain dengan teman-teman. Karenanya ia tidak pernah berpikir panjang tentang makanan. Biasanya, sepulang sekolah, karena amat lapar dengan penuh nafsu Fauz menyendok nasi dan mengambil lauk banyak-banyak, lalu meninggalkan sebagiannya karena sudah kekenyangan.
Tetapi, kenapa Ummi harus merumitkan nasi sekepal dua kepal sih ? Kan cuma sedikit sekali, pikir Fauz. Lagipula, Fauz ingat suatu ketika, ketika Fauz menghabiskan makanan hingga piringnya bersih tak menyisakan sebutirpun nasi, Zahra temannya di sekolah langsung menatapnya heran,
“Eh, kamu kelaparan ya, Fauz ? Piringnya sampai licin begitu.” Wah Fauz jadi malu.
*****
Malam itu di rumah Fauz ada tamu. Om Abiq yang merupakan teman kerja Paman Rizki, adik Ummi. Saat itu, Ummi juga telah menyiapkan hidangan makan malam yang cukup istimewa. Ayam bakar bumbu madu, serta ikan panggang bumbu kecap!
Melihat itu segera terbit air liur Fauz dan selera makannya rasa-rasanya jadi berlipat-lipat. Disendoknya nasi banyak-banyak, tapi .............
“Sayang, jangan lupa, ambil nasi secukupnya agar kamu mampu menghabiskan. Jangan banyak-banyak dulu, kalau kurang nanti boleh tambah,” ujar Ummi mengingatkan.
Gerakan tangan Fauz jadi tertahan. Diliriknya Om Abiq yang memperhatikannya tersenyum simpul. Ah, Fauz jadi malu mau ambil nasi banyak-banyak ......
“Memangnya Fauz suka nyisain makanan ya”? tanya Om Abiq menyelidik ramah.
“Eh ...........engg ..........” Fauz jadi tidak bisa berkata-kata.
Paman Rizki menyahut, “Iya nih. Fauz tuh suka ngambil nasi atau lauk banyak-banyak, eh tetapi nggak dihabiskan. Katanya buat kucing.”
Aih, Paman Rizki malah membocorkan rahasia. Fauz pura-pura tidak mendengar dan terus saja asyik melahap makanan dihadapannya.
“Mungkin Fauz malu dianggap rakus ya sama teman, kalau menghabiskan makanan yang ada di piring?” tanya Om Abiq.
“Sebab, ada juga kok teman Om Abiq yang dulu beranggapan begitu. Tetapi setelah Om Abiq kasih pengertian, eh, nggak begitu lagi. Malah sekarang dia juga selalu menghabiskan nasinya kalau makan.”
“Eh, bagaimana bisa ?” tanya Abi jadi ikut-ikutan tertarik.
“Ya, pertama sih Om Abiq ceritakan saja bahwa membuang-buang makanan, atau sengaja menyisakan makanan yang akhirnya cuma terbuang saja adalah perbuatan mubadzir yang tidak disukai Allah.”
“Tuh, Fauz, benar kan kata Ummi, membuang makanan itu mubadzir.” sela Ummi.
“Tapi, tahu nggak Fauz apa lagi yang membuat Om Abiq selalu menghabiskan nasi yang ada di piring Om ?”
Fauz menggeleng. “Kenapa Om ?”
Fauz menggeleng. “Kenapa Om ?”
“Karena, perlu waktu tiga bulan penuh kerja keras agar kita bisa memperoleh sebutir nasi ini.”
“Tiga bulan ?”
“Iya. Tiga bulan, malah dulu bisa enam bulan.”
“Kok bisa ?”
Om Abiq tersenyum lagi. “Orangtua Om Abiq adalah petani, Fauz. Kami punya berpetak-petak sawah yang ditanami padi. Dan butuh tiga bulan kerja keras dan doa yang sungguh-sungguh untuk bisa menghasilkan beras.”
“Mulanya, tanah sawah harus dicangkuli, dibolak-balik, agar gembur, dibajak, dibuangi rumput dan batu-batunya. Biasanya setelah satu sampai dua minggu barulah tanah itu bisa siap dipakai menanam,” Jelas Om Abiq.
“Bibit padi juga tidak langsung ditanam disawah, Fauz, tetapi harus disemai lebih dahulu sampai tumbuh dun-daun muda.” Lanjut Om Abiq. “Kemudian dipindah dan ditata lagi dalam sawah-sawah. Air sawah diatur pengalirannya, tidak boleh kurang juga tidak boleh terlalu banyak. Hama serangga harus disemprot, tikus diusir sementara burung-burung digebah. Kalau ada rumput liar tumbuh yang mesti dicabuti. Dan tentu saja para petani juga berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah, agar tidak mengalami gagal panen. Entah karena serangan hama, penyakit, serangan tikus yang jumlahnya bisa beratus-ratus, banjir atau malah kekeringan akibat kemarau panjang.” Fauz terpesona mendengar cerita itu. Sedemikian rumitkah upaya menanam padi ?
“Jadi, Om Abiq tidak pernah menyisakan nasi di piring karena tahu betul betapa keras dan payahnya bapak-ibu dulu mengolah sawah, dalam hujan dan panas. Bahwa sebutir nasi yang tetinggal dalam piring kita sesungguhnya adalah hasil keringat dan doa yang sambung menyambung dikucurkan dalam waktu yang begitu lama...........”
“Padahal kita sekarang tinggal menerima hasil akhirnya. Beras pulen yang wangi,” kata Ummi.
“Bahkan Abi, Ummi, Paman, dan Fauz tinggal menyantap nasi hangatnya ....” sambung Abi.
“Kalau begitu, mulai sekarang aku akan selalu menghabiskan nasi dipiringku deh. Kasihan para petani yang sudah susah payah menanamnya ....” Sambil berkata begitu Fauz menyantap habis semua makanan yang ada dalam piringnya.
“Nah, habis ! Alhamdulillah,”
Abi, Ummi, Paman Rizki dan Om Abiq tertawa bersama melihatnya.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar